Oleh: Raden Ridwan Hasan Saputra

            Ketika saya sedang sakit yang lumayan berat, dimana kondisi badan saya sedang demam dan otak sudah sulit digunakan untuk berpikir, saya harus menyelesaikan paket soal sebuah lomba. Kebetulan lomba tersebut tidak hanya berbasis numerasi tetapi juga literasi. Alhamdulillah untuk soal numerasi saya sudah punya tabungan soal yang banyak, tetapi untuk literasi soal-soal tersebut masih belum banyak apalagi untuk tema yang sangat unik. Di situasi seperti itu, ketika otak saya sudah sulit untuk digunakan berpikir, akhirnya ada teman yang mengusulkan bagaimana kalau membuat soal literasi menggunakan bantuan AI (Akal Imitasi).

            Akhirnya saya mencoba  membuat soal literasi dengan menggunakan AI. Hal yang membuat saya kaget, dari materi yang saya siapkan untuk membuat soal, ternyata hanya dalam waktu kurang 15 menit sudah tersaji 50 soal literasi dalam bentuk pilihan ganda. Soal-soal tersebut sangat berhubungan dengan materi yang saya siapkan. Hal lain yang membuat saya bertambah kaget adalah ketika AI saya test untuk menjawab soal-soal tersebut, ternyata jawabannya benar semua. Walaupun AI sudah mempunyai kecanggihan yang sedemikian rupa ternyata tetap masih ada kekurangan, karena banyak soal yang sama atau terjadi pengulangan soal dari 50 soal yang tersaji, sehingga saya harus menghapus soal yang sama tersebut. Tambahan kekurangan AI yang lain, soal yang dibuat masih sangat sederhana belum sekompleks yang saya inginkan atau yang biasa saya buat. Hal ini mungkin karena yang namanya buatan manusia tidak ada yang sempurna, atau mungkin AI yang saya pakai bukan generasi terbaru.

            Pengalaman pertama saya menggunakan AI untuk membuat soal lomba membuat saya berpikir, jika guru sudah terbiasa membuat soal dengan menggunakan AI, maka otak guru lama kelamaan akan menjadi sulit untuk berpikir. Jika otak guru sudah sulit untuk berpikir sepertinya akan menjadi guru yang kurang layak untuk mengajar. Sebab pendidikan berkualitas membutuhkan guru-guru yang otaknya mudah untuk berpikir. Saya mencoba berpikir lebih jauh lagi, jika anak-anak Indonesia terbiasa menggunakan AI dalam mengerjakan PR, soal ujian ataupun dalam mengerjakan tugas, maka otaknya akan jarang digunakan untuk berpikir. Jika hal itu terjadi terus menerus maka otaknya akan jadi susah berpikir kritis, imajinasinya menjadi tidak berkembang dan sulit untuk menjadi dirinya sendiri, fenomena ini disebut ketidakberpikiran.  

            Ketidakberpikiran sangat mungkin akan tumbuh subur di Indonesia karena tujuan belajar kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini adalah untuk meraih prestasi, seperti juara kelas, juara lomba maupun lulus ujian, tanpa berpikir bahwa untuk meraih hal tersebut memerlukan proses yang panjang (inginnya instan).  Fakta menarik tentang mental instan ini, bisa dilihat dari adanya berbagai kecurangan dengan menggunakan AI, ketika diadakan ujian online, apalagi ketika ujiannya dilaksanakan di rumah, dimana tidak ada yang mengawasi. Kecurangan tersebut terjadi dari mulai ulangan kelas, ujian tingkat sekolah bahkan sampai lomba sekelas olimpiade yang diadakan oleh pemerintah. Sepertinya fenomena kecurangan ini sulit dihentikan selama mental siswa dan orang tua siswa lebih fokus pada hasil bukan pada proses. Selama fenomena kecurangan itu hidup maka ketidakberpikiran pun akan tumbuh subur. Dalam dunia kerja, generasi muda yang ketidakberpikiran akan cenderung menggunakan cara curang dengan  dibantu orang tuanya untuk lolos seleksi dan untuk mendapatkan posisi dan jabatan di suatu institusi. Apabila banyak generasi muda mengalami ketidakberpikiran maka masa depan Indonesia dipastikan akan suram.

            Senyampang dengan fenomena ketidakberpikiran, saya sebagai pendiri KPM yang merupakan lembaga pendidikan, dimana KPM mengajarkan matematika dan IPA dengan sistem pembayaran yang menerapkan bayaran seikhlasnya, sering menyampaikan kepada orang tua siswa KPM kalau ikut lomba di KPM bukan untuk mendapatkan jalur prestasi atau beasiswa, tetapi untuk mendapatkan ridho Allah.  Di KPM pun saya selalu mengingatkan untuk menjunjung tinggi kejujuran, seperti dalam mengikuti test eliminasi, ujian semester dan mengerjakan lomba-lomba yang diadakan KPM, baik lomba dalam negeri maupun lomba luar negeri. Kedua hal tersebut saya tekankan  karena dengan tujuannya ridho Allah dan menjunjung tinggi kejujuran, maka otak dari murid-murid KPM selalu terasah atau kemampuan berpikir kritis selalu terpelihara dan terus meningkat. Insya Allah hal ini akan membuat murid-murid KPM menjadi manusia-manusia yang tangguh dalam menghadapi permasalahan di masa depan.

            Jika saat ini ditemukan AI yang lebih pintar dari banyak manusia, sehingga ada AI yang bisa mengerjakan soal International Mathematics Olympiade (IMO) dengan nilai standard peraih emas, bukan berarti ketika kita menyibukkan diri berlatih soal-soal olimpiade matematika sudah tidak bermanfaat lagi. Disinilah yang harus dipahami bahwa tujuan belajar di KPM, terutama di kelas khusus KPM dengan mengerjakan soal-soal Matematika Nalaria Realistik hingga sampai ke level soal-soal olimpiade matematika adalah untuk melatih otak kita agar selalu berpikir kritis. Selain itu ketika belajar di KPM, ada sesi dimana siswa bekerjasama dalam menyelesaikan beberapa soal.  Hal itu akan melahirkan kecerdasan kolektif dan kedekatan emosional, sehingga siswa KPM di kelas khusus akan cerdas bersama dan maju bersama.

            Berkaca dari besar manfaatnya belajar di KPM, dimana dengan bayaran seikhlasnya para siswa bisa dilatih berpikir kritis dan terbina karakternya, saya menjadi lebih bersemangat untuk menyebarkan KPM ke seluruh Indonesia.  Harapannya adalah semoga KPM bisa ikut mencegah ketidakberpikiran di generasi muda Indonesia. Jika tertarik ingin membantu menyebarkan KPM di seluruh Indonesia atau ingin menjadi anggota jaringan KPM, silahkah menghubungi no HP: 081280341100

 

Bogor, 14 september 2025

Raden Ridwan Hasan Saputra

Presiden Direktur KPM